Changes (FAQ – Part 2)

Kembali lagi di sesi FAQ seputar kisah pernikahan saya. Let’s get to the next question.

2. Gimana nih bro rasanya nikah?

Bentuk dan maksud pertanyaan ini bisa bermacam-macam. Ada yang murni ingin tau kabar, minta tips dan trik berkeluarga, atau sekedar iseng kepo. Biasanya saya dan istri menjawab pertanyaan semacam ini dengan, “Yaa, leh uga.” Tapi kayaknya jawaban itu malah semakin ambigu 😛 Jadi di post kali ini saya akan coba menjawab dengan lebih serius.

Orang bilang, “Getting a woman is one thing and keeping her is another.” Agreed. Perjuangan mendapatkan perempuan yang kita impikan itu gak berakhir begitu saja saat kita menikahinya, tapi bakal terus berlanjut di awal-awal pernikahan, sampai punya rumah, anak-anak, cucu, dan mati. And having a good, long pre-marriage relationship doesn’t guarantee that your marriage life will be smooth. Let alone your marriage life, you sometimes don’t even know whether your boy/girlfriend will marry you, do you? 😜 Karena sesungguhnya pacaran itu tidak bisa jadi jaminan apapun dan beda total dengan pernikahan.

Walaupun saya dan istri tidak pernah pacaran seperti yang kebanyakan orang lakukan, tapi saya sudah lama kenal dia—hampir 17 tahun! 😆 Sudah banyak kebiasaan-kebiasaan buruk maupun baiknya yang saya hafal. Seharusnya tidak perlu banyak penyesuaian yang kami lakukan, dong, sudah tau dan siap menerima kekurangan masing-masing kan. Tapi ternyata sama aja kok. Masih banyak hal yang harus kami sesuaikan seperti cara makan, cara nyupir, jam tidur, tingkat kemageran, sampai cara merapikan kamar. Alhasil, kami juga masih sering bertengkar karena hal sepele seperti anak SMA baru pacaran.

Ya, perubahan dan penyesuaian setelah menikah, banyak ataupun sedikit, memang keniscayaan. Tapi sebenarnya itu semua bisa dilalui dengan mudah tanpa perlu berantem-beranteman kok, kalau dijalani dengan komunikasi yang baik dan saling respect. Dua hal ini menurut saya adalah kunci dari segala permasalahan. Selain itu, pasangan baru juga perlu untuk belajar mengontrol ekspektasi. Biasanya karena mereka belum tahu jelek-jeleknya pasangan, mereka masih berpikir pasangan mereka adalah sang Pangeran Berkuda/Putri Mahkota yang mereka idam-idamkan. Ketika jeleknya pasangan mulai kelihatan, muncullah kekecewaan. Yaa, kalau ekspektasinya masih rasional tidak masalah. Tapi jangan pernah berharap kalau pasangan kita itu sempurna.

Di samping kebiasaan sederhana yang saya sebutkan di atas, tentunya ada juga perubahan pada hal-hal besar yang saya alami seperti berikut.

Keluarga baru

Menjelang akad nikah, sepupu saya yang sudah lama menikah mengajak saya ketemuan dan sharing seputar kehidupan pernikahan. Salah satu pesannya yang paling penting adalah, ketika saya menikah, saya bukan hanya menikahi si istri, tetapi juga keluarganya. Artinya, saya dan keluarga saya akan menjadi bagian dari keluarganya. Saya akan punya adik-adik baru, sepupu baru, om, dan tante baru. Begitu pun anggota keluarga saya dan anggota keluarga si istri.

Yang kemudian menjadi tantangan adalah ketika kita harus pintar-pintar membagi waktu bersama keluarga dari pihak pasangan. Tidak jarang setelah menikah si laki-laki malah lebih condong ke pihak keluarga perempuan, atau sebaliknya. Misalnya saat Idul Fitri, si istri minta suami ikut mudik bertemu keluarga besarnya, tapi karena waktu atau jarak yang tidak memungkinkan mereka tidak sempat berkunjung ke keluarga pihak laki-laki. Kalau terjadi sekali-sekali mungkin bisa dimaklumi yaa, tapi kalau terjadi berulang-ulang tentu jadi tidak sehat. Tidak mau kan menjadi bahan pembicaraan di belakang oleh keluarga besar? Belum lagi kalau ada salah satu pihak yang iri karena merasa waktu bersama keluarganya “tercuri.” Karena sesungguhnya polemik dalam keluarga (besar) itu bisa datang dari manapun dan sesepele apapun.

Saya sendiri masih belajar dalam menyiasati hal ini. Berhubung kedua orang tua kami sama-sama di Depok, kami masih bisa membagi waktu bersama keluarga inti dengan baik. Walaupun terkadang justru jadi agak repot juga karena kami belum ada rumah/kontrakan sendiri di Depok (sekarang masih di Jogja). Jadi pernah satu hari kami menginap di rumah orang tua saya, besoknya di rumah orang tua istri, dan besoknya lagi kembali ke Jogja. Haha

Cita-cita baru

Tidak sedikit yang beranggapan bahwa pernikahan itu semacam batu sandungan dalam karir. Menikah dianggap sebagai momok dan hal yang merepotkan karena ada tanggungan rumah, anak-anak, sekolah anak, dan lain-lain. Ini menjadi salah satu penyebab ada orang yang terlalu asik berkarir dan belum menikah juga sampai umur 40-an. If you are thinking this way, you are doing it wrong. 

Bagi saya, menikah justru membuka lebih banyak potensi untuk berkarir atau berkarya. Pertama, menikah membuka koneksi dan jejaring lewat pasangan. Kedua, cita-cita pasangan menjadi cita-cita kita. Istri saya adalah seorang dokter dan punya salah satu cita-cita untuk mengembangkan Medical Tourism di Indonesia, which is an entirely new thing for me as someone with a degree in engineering. Nevertheless, realizing her dreams has now become my dream too. Banyak manfaat yang bisa saya dapat di sini, seperti belajar bidang baru atau bahkan mengkolaborasikan mimpi-mimpi kita. Ketiga, kita punya partner kerja yang siap mendukung kita kapanpun, di manapun kita bekerja. Kalau partner kerja atau bisnis biasanya terbatas pada kerjaan itu saja dan sewaktu-waktu bisa resign atau meninggalkan kita, tapi tidak dengan suami/istri (unless he/she really leaves you for good 😛 ) Selain itu, masih terkait dengan poin kedua, kita bahkan bisa membuat karya atau bisnis bersama dengan dukungan talenta masing-masing. Ini yang paling menarik menurut saya, karena berkat dia saya termotivasi untuk mulai menulis lagi dan bahkan menggambar lagi—hobi lama yang suka hilang-timbul.

Berani mengalah

Pernah membaca tulisan tentang nasehat seorang ibu kepada anaknya agar pernikahannya damai? (Silakan dibuka) Ya, nasehat ibu itu cuma satu: berani mengalah.

Tidak mudah memang menyatukan pemikiran, kebutuhan, cita-cita dari dua kepala dengan latar belakang yang berbeda. Makanya harus selalu ada yang mengalah. Saya juga masih belajar—dan akan terus belajar seumur hidup sepertinya. Tapi mengalah juga bukan berarti aspirasi kita pupus begitu saja. Semua yang hilang pasti akan ada gantinya (hukum kekekalan energi 🙂 ) Yang terpenting, setiap keputusan yang diambil harus selalu untuk kebaikan bersama.

Motivasi jadi lebih baik

Salah satu yang paling signifikan yang saya rasakan setelah menikah adalah menjadi lebih rajin. FYI, saya itu orangnya sangat mageran. Sementara istri superaktif dengan berbagai kegiatan di luar. Setelah menikah, perlahan-lahan itu berubah. Saya pelan-pelan mulai berinisiatif merapikan kamar tanpa ditunggu, membantu menyuci, masak, dan lain-lain. Rasanya malu kalau istri mengerjakan semuanya. Tentunya saya harap bukan hanya dalam hal-hal kecil seperti seperti itu saja. Well, what’s more motivating than seeing your loved one happy by a better version of you?

Kesimpulannya, nikah itu rasanya nano-nano. Banyak bahagianya, banyak susahnya juga. Tapi ketika susahnya dilalui bersama orang yang dicinta, can you ask for more?


3. Gimana caranya dapetin dia? — bonus question

Pertanyaan ini juga sering dilontarkan, tapi saya tidak pernah menjawabnya dengan serius—karena saya sendiri ga tau caranya gimana ha ha. Bagaimana tidak, seperti yang saya ceritakan di post sebelumnya, my wife is one of a kind. She is smart, kind, beautiful and multi-talented. Tidak mudah dan menjadi cita-cita hampir semua laki-laki di dunia tentunya untuk bisa mendapatkan perempuan sepaket seperti itu. Terus apa yang saya lakukan hingga bisa mendapatkan dia?

Setiap orang tentunya punya cerita cintanya masing-masing. Ada yang ketemu dengan pasangannya waktu kuliah di luar negeri, ada yang harus melalui drama-drama ala telenovela dan novel teenlit dulu baru ketemu pasangannya, ada yang baru ketemu langsung cocok dan nikah, dan ada yang ketemu sejak masih bocil-bocil dan akhirnya jadi suami-istri seperti saya. Jadi sebenarnya mau saya cerita tips dan trik saya ya intinya mah pasrah aja jodoh udah ada yang atur ha ha. Tapi kalau kata istri, mungkin ini berkat doa ibu saya, karena ternyata usut punya usut ibu saya udah lama mau istri saya jadi mantunya. Hahaha

However, there is only one thing that I did and want every man in the world to do: never betray her. Because once you do, you cannot have her back the same way… But if she does, it’s not your problem, it’s hers. You deserve a better one. 😉

One thought on “Changes (FAQ – Part 2)

Leave a comment